"Kalau bicara pengemis, Mensos pernah bilang, 2012 Jakarta bebas dari pengemis, kenyataannya enggak kan," ujar Sanusi menirukan perkataan Salim, saat ditemui di Gedung DPRD, Kamis (28/11/2013).
Penertiban pengemis, kata dia, tak jauh beda dengan masalah urbanisasi. Di mana setiap habis lebaran Jakarta diserbu pendatang baru. "Lalu ngabisin duit lewat operasi yustisi yang nyatanya tak berfungsi," terangnya.
Permasalahan pengemis di DKI, kata dia, pada intinya, karena Kota Jakarta yang multi fungsi. "Jakarta menjadi kota paling rakus di seluruh dunia. Dari pariwisata, ekonomi, budaya, jasa, Ibu Kota negara, semuanya di sini. Makanya semua tergiur untuk mencari duit di Jakarta. Termasuk pengemis, paling gampang dapat duit, tinggal minta-minta doang," bebernya.
"Di luar negeri, coba ke Maroko, semuanya dipisah. Semua kota punya fungsi masing-masing. Jadi enggak ada warga yang tertarik pindah ke satu kota tertentu," imbuhnya.
Langkah penertiban yang dilakukan DKI saat ini, lanjutnya, hanya seperti pemadam kebakaran, bekerja saat ada api. "Mau bina, pantinya enggak cukup. Kita ini belum bisa sampai tahap preventif," kata dia.
Dari semua permasalahan yang ada, menurut Sanusi, satu-satunya solusi yaitu dengan cara memecah fungsi Jakarta yang rakus. Tentu tidak menyerahkan seluruh bebannya pada Pemprov DKI, tapi menjadi tanggung jawab semua pemerintahan.
"Ibu kota enggak perlu pindah, tapi kota pemerintahan yang harus di pindah. Ngurus APBN semuanya ke Jakarta. Coba lihat, Depdagri, DPR semuanya ada di sini. Daerah-daerah yang mau ngurus anggaran dan segala macam kan harus ke Jakarta. Pemisahan itu, tentu harus diimbangi infratruktur yang mampu mengoneksikan kota administratif seperti kementerian-yang dipindah ke Jonggol misalnya," tutup Sanusi.
Foto ABG Bookingan